Senin, 19 Maret 2012

keterampilan berbicara


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Bahasa muncul dan diperlukan dalam segala kegiatan. Namun, dibalik semua itu bahasa juga kerap menjadii sangat sulit dan rumit. Permasalahan itupun akhirnya membawa insan bahasa melakukan penelitian. Penelitian bahasa telah banyak dilakukan, baik secara perorangan maupun secara kelompok. Peneltian yang dilakukan secara perorangan umumnya berbentuk skripsi, atau disertasi.
Dilihat dari latar belakangnya, masyarakat Bali secara garis besar dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu masyarakat Bali Kuna dan masyarakat Bali Majapahit. Jika dirunut secara historis sebenarnya ada tiga kelompok masyarakat yang berada di Bali. Yang pertama adalah penduduk asli pulau Bali. Kedua pendatang yang datang dari Jawa yang merambas hutan di Bali kemudian membangun pura Besakih dan yang terakhir kelompok pendatang dari Majapahit melalui penyerbuan yang dipimpin oleh Kertanegara dan Gajah Mada.
Peranan bahasa Bali adalah sebagai alat untuk menyampaikan ide-ide, apresiasi, kreatifitas dan majinasi, mengetahui cara hidup masyarakat Bali. Dalam peranannya tersebut bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dari SD hingga ke perguruan tinggi bukan saja sebagai mata pelajarnya tetapi dipergunakan juga sebagai alat meyampaikan ilmu-ilmu yang lain seperti sejarah, ilmu bumi dan lain sebagainya. Disamping itu bahasa Bali dipergunakan sebagai alat komunikasi secara umum di Bali dalam hubungan antar suku. Bahasa Bai dalam kedudukannya sebagai bahasa setempat menguasai kehidupan sehari-hari di Bali baik dalam lingkungan keluarga, teman-teman, maupun kehidupan social yang lain.

1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.       Bahasa apa yang digunakan oleh orang Bali?
2.       Mengapa model bahasa itu yang digunakan?
3.       Siapa  saja yang menggunakan bahasa tersebut?
4.       Mengapa terjadi penggunaan bahasa seperti itu?
5.       Bagaimana eksistensi penggunaan bahasa yang bertingkat itu di era terkini?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1.       Untuk mengetahui bahasa apa yang digunakan oleh orag Bali.
2.       untuk mengetahui model bahasa yang digunakan
3.       untuk mengetahui siapa saja yang menggunakan bahasa tersebut?
4.       Untuk mengetahui mengapa terjadi penggunaan bahasa seperti itu?
5.       Untuk mengetahui eksistensi penggunaan bahasa yang bertingkat itu di era terkini


 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Bahasa yang Digunakan oleh Orang Bali

Dalam bahasa Bali dikenal istilah bahasa Bali Kepara yang artinya bahasa Bali lumbrah/umum. Bahasa Bali kepara merupakan bahasa daerah Bali yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini terutama dalam kehidupan masyarakat Bali itu sendiri yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Selain sebagai alat komunikasi bahasa Bali Kepara ini juga digunakan untuk mempelajari dan menulis karya sastra. Bahasa Bali Kepara mengenal adanya tingkatan-tingkatan berbahasa yang disebut dengan “anggah-ungguhin basa” atau “sor-singgih basa”. Sor Singgih basa Bali menurut kamus Bali- Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar provinsi Bali menguraikan bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti halus atau hormat. Sor singgih Basa Bali berarti aturan tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendahnya rasa dalam berbahasa Bali. Dalam anggah-ungguhing basa tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kelas yang sering disebut basa kasar, basa alus madia dan basa alus mider. Sedangkan untuk kata-kata yang digunakan di dalamnya dinamakan kruna mider (kata netral), kruna kasar, kruna alus madia, kruna alus sor, kruna alus mider dan kruna alus singgih.

2.2. Mengapa model seperti itu yang digunakan?

Masyarakat Bali  sampai memiliki anggah-ungguhing Basa Bali tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh dari orang-orang Jawa. Dalam konteks sejarah, pada awalnya di Bali tidak mengenal adanya sor-singgih basa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka berkomunikasi dengan orang lain tidak menggunakan tingkatan-tingkatan berbahasa seperti itu.
Bahasa Bali secara regional dapat dibedakan menjadi dua ragam besar yaitu dialek pegunungan yang disebut dengan Dialek Bali Aga (DBA) dan dialek Bali Dataran (DBD) yang masing-masing memiliki subdialek. Dialek Bali Aga adalah bahasa bali yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang mendiami daerah pegunungan dan merupakan penduduk asli masyarakat Bali. Sedangkan orang yang menggunakan Dialek Bali Dataran adalah orang Bali yang terkena pengaruh dari wong Majapahit.
 Daerah yang masih terkait dengan Dialek Bali Aga adalah daerah di bagian pegunungan pulau Bali. Penduduk pulau Bali yang tinggal di daerah-daerah pegunugan biasanya disebut Wong Bali Aga. Maka dari itu bahasanya pun yang sebenarnya tidak lain dari sebuah variasi dari bahasa Bali, disebut bahasa Bali Dialek Bali Aga (DBA), dan daerah persebarannya  jauh lebih sedikit dibandingkan penutur dialek Bahasa Bali Dataran.
Orang Bali yang menggunakan dialek bahasa Bali Aga tersebut adalah orang-orang Bali yang terdesak ke daerah-daerah pegunungan pulau Bali oleh serangan lascar Majapahit yan dipimpin oleh Gajah Mada. Mereka tidak mau menerima begitu saja kebudayaan yang disebarkan oleh orang-orang Majapahit yang datang ke Bali pada saat itu, sehingga mereka memilih untuk pergi ke pegunungan dan mempertahankan bahasa asli mereka. Anggapan umum ini bila dicocokkan dengan tinjauan kemasyarakatan terhadap penuturan asli masyarakat Bali Aga dan penyebarannya, ada tanda-tanda kebenarannya sebab masyarakat penutur DBA pada umumnya sedikit kena pengaruh hidup, memiliki pola penetapan yang lain dari pola penetap masyarakat Bali Dataran pada umumnya.
Orang-orang Majapahit yang datang ke Bali pada saat itu mempengaruhi orang-orang Bali di bagian pesisir/dataran. Terjadi pergeseran kebudayaan yang cukup besar dari Jawa ke Bali, sampai raja-raja yang pada abad-abad berikutnya memerintah di kerajaan-kerajaan kecil di Bali. Raja-raja tersebut membanggakan dirinya karena berasal dari keturunan bangsawan-bangsawan Jawa Majapahit yang turut dalam ekspedisi tersebut dan kemudian menetap di Bali. Pengaruh-pengaruh tersebut salah satunya adalah mengenalkan tingkatan-tingkatan dalam bahasa Bali. Adanya tingkatan-tingkatan dalam berbahasa itu dikarenakan orang-orang Majapahit itu adalah orang–orang yang berasal dari wilayah kerajaan. Kebanggaan inilah yang menimbulkan sikap santun mereka dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Cara berbahasa mereka kemudian digolongkan menjadi empat wangsa yaitu kaum brahmana, ksatria, weisia dan sudra.
Ada beberapa perbedaan bahasa Bali baru (BBB)/Dialek Bali Dataran dengan Dialek Bali Aga (DBA) yang bersifat diluar Kebahasaan (non linguistic) meliputi hal sebagai berikut:
1.         Dalam BBB mengenal tingkat-tingkatan (anggah-ungguhing basa) yang digunakan sebagai cerminan adanya lapisan (stratification) social dalam masyarakat Bali yang mengenal adanya kasta sebagai kelas tertutup. Tingkat-tingkatan bahasa dalam BBB yaitu BB kasar, madya, alus sedangkan dalam DBA tidak mengenal adanya anggah-ungguhing basa tersebut. Masyarakat DBA juga tidak mengenal kasta tentang adanya anggah-ungguhing basa yang sekarang didapatkan di daerah pemakaian DBA kemudian besar karena pengaruh pergaulan akibat pesatnya hubungan dengan penutur dari bahasa Bali Dataran.
2.         Jumlah penutur DBA jauh lebih sedikit dibandingka jumlah penutur BBB/Bahasa Bali Dataran. DBA memiliki jumlah penduduk sekitar dua sampai tiga ratus ribu jiwa, sedangkan penutut dialek Bali Dataran mencapai dua juta lebih.
3.         Sikap loyalitas penutur bahasa Bali Dataran jauh lebih positif (lebih tinggi kadar kesetiaan dan kebangsaannya) terhadap perkembangan bahasa Bali dibandingkan sikap dan loyalitas penutur dialek Bali Aga terhadap bahasanya.
Perkembangan dialek bahasa Bali Dataran yang selanjutnya menjadi bahasa Bali standar, diangkat dari daerah bahasa tertentu di Bali berdasarkan keputusan Pesamuhan Agung Bahasa Bali pada tahun 1974.
.
2.3. Siapa yang menggunakan bahasa itu?
Menggunakan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dipisahkan dari subyek yang menggunakan bahasa tersebut. Dalam pemakaiannya, tidak sembarang bahasa yang digunakan. Ada saat-saat menggunakan kruna mider/alus mider (kata netral), kruna kasar, kruna alus madia, kruna alus sor, kruna alus mider dan kruna alus singgih. Kata-kata ini digunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang mempunyai Triwangsa yang berbeda-beda.
Dalam majalah Widya Pustaka yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Udayana pada bulan Mei tahun 1984 yang memasukkan warna dan tingkatan-tingkatan berbahasa. Pembagian tersebut antara lain:
1.       Bahasa Bali dibagi menjadi dua golongan yaitu Basa Kasar dan Basa Alus (Basa Alus dalam kamus bahasa Bali-Indonesia yang disusun oleh panitia penyusun Kamus Bali-Indonesia dan tim Penelitian Sastra Unud Denpasar, dalam buku Unda-Usuk Basa Bali, tahun 1978/1979).
2.       Bahasa Bali dibagi menjadi tiga golongan yaitu Basa Kasar, Basa Madia dan Basa Alus ( Bagus, Gd. 1975: 37: 1975/1976: 109). Selain itu ada juga yang menyebutkan Basa Kasar, Basa Kepara (lumbrah/umum), dan Basa Alus ( Simpen AB, Gst. Bgs. Sugriwa). Selain itu menurut Dinas Pengajaran Daerah Provinsi Bali tahun 1971: 61 menyebutkan bahasa bali dibagi menjadi tiga golongan berbeda yaitu Basa Sor, Basa Madia, dan Basa Singgih.
3.       Bahasa Bali dibagi menjadi empat golongan yaitu Basa Kasar, Basa Andap, Basa Madia dan Basa Alus ( Ida Bgs. Narayana, dalam majalah widia Pustaka, Maret 1984).
4.       Bahasa Bali dibagi menjadi lima golongan yaitu Basa Kasar, Basa Alus, Basa Singgih, Basa Sor dan Basa Madia (J. Kersten SVD, dalam bukunya Garis Besar Tata Bahasa Bali)
Jika diteliti kembali tentang pembagian golongan tingkatan-tingkatan bahasa Bali dii atas istilahnya emang berbeda-beda. Tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari  hasilnya sama saja.
Karena seperti itu dikelompok-kelompokkan, istilah-istilah tersebut kemudian diuraikan kembali dalam penjelasan di bawah ini:

1.       Basa singgih:
Basa singgih merupakan bahasa yang biasa digunakan untuk menghormati pada saat berbicara kepada orang yang patut dihormati misalnya kepada Triwangsa (brahmana, ksatria dan weisia), orang yang berpangkat atau orang yang memegang jabatan, dan kepada tamu yang belum kita kenal dengan baik.
Bahasa singgih digolongkan kembali menjadi beberapa bagian yaitu:
a.       Basa Alus Singgih (a. si ), yaitu bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi dengan wangsa yang lebih tinggi derajatnya atau pada orang –orang yang patut dihormati/singgihang. Bentuk ini berjumlah kira-kira sepertiga dari seluruh jumlah kosakata bentuk hormat yang ada. Bentuk-bentuknya khusus untuk menyebut sesuatu tentang orang yang dihormati.  Contoh kata-kata yang biasanya digunakan antara lain:
-          Seda                 (mati, meninggal)
-          Mantuk             (pulang)
-          Ngandika          (berbicara)
-          Ida                    (dia, beliau)
b.       Basa Alus Sor (a. so), yaitu bahasa yang digunakan untuk merendahkan diri pada saat berbicara dengan wangsa yang lebih tinggi derajatnya atau orang yang patut ditinggikan. Kata-kata yang biasanya digunakan untuk berbicara merupakan kata-kata alus yang bersifat merendah seperti:
-          Padem              (mati, meninggal)
-          Budal                (pulang)
-          Matur                (berbicara)
-          Ipun                  (ia, dia)
c.       Basa Alus Madia (a. ma), yaitu bahasa Bali yang penggunaannya berada di tengah-tengah. Boleh digunakan saat berbicara dengan wangsa tengahan, sesama triwangsa dan wangsa yang lebih rendah yang patut dihormati. Kata-kata alus Madia ini misalnya:
-          Tiang    berasal dari kata “titiang”            (saya, aku)
-          Niki berasal dari kata “puniki”                  (ini)
-          Ten berasal dari kata “nenten””                (tidak)
-          Ampun berasal dari kata “sampun”          (sudah)
-          Napi berasal dari kata “punapi”                (apa)
Jumlah bentuk alus madia jauh lebih kecil dibandingkan dengan bentuk alus mider. Disamping bentuknya memang dari mulanya berbentuk alus madia, ada juga yang  bentuknya dari kependekan bentuk alus mider. Hal itu terutama terjadi dari proses pemakaian yang disebabkan oleh situasi, maka bentuk alus dipendekkan, sehingga konotasi kata tersebut berubah
d.       Basa Alus Mider (a. mi), yaitu berupa bahasa Bali alus yang ngiras (merangkap) kegunaannya pada saat berbicara kepada wangsa yang lebih tinggi atau wangsa yang lebih rendah yang patut dihormati. Contoh kata-kata alus Mider misalnya:
-          Rauh                (datang)
-          Kanin                (terluka)
-          Mamargi            (berjalan)
-          Puput                (selesai)
Jika dilihat dari aspek leksikalnya, bentuk hormat tersebut secara keseluruhannya kira-kira berjumlah 600-700 kata. Namun dari jumlah tersebut tidak semuanya merupakan kata-kata yang aktif melainkan ada sejumlah kata-kata yang pasif artinya jarang digunakan, bahkan tidak pernah dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata yang pasif tersebut biasanya terpakai dalam buku-buku klasik yang biasanya menceritakan tentang kisah raja-raja. Dari jumlah keseluruhan kosa kata tersebut, boleh dikatakan sebagian besarnya adalah termasuk bentuk alus, atau jelasnya alus mider.
2.       Basa Sor
Basa Sor adalah bahasa andap yang digunakan pada saat berkomunikasi dengan wangsa andapan, sesama wangsa Jaba atau berbicara dengan teman-teman yang sudah akrab atau bahasa yang digunakan pada saat berkelahi. Basa Sor dibagi lagii menjadi dua bagian yaitu:
a.         Basa Kesamen yaitu bahasa yang boleh digunkanan oleh semua orang. Basa kesamen tidak saja mencirikan merendahkan diri dan tidak juga terlalu meninggikan. Kesamen berasal dari kata sami yang artinya semua. Kata sami mendapat awalan ka- dan akhiran –an kemuadian disandikan menjadi kesamen.  Contoh basa Kesamen: “Cening mare teka?”
Kalimat tersebut semua kalangan boleh menggunakan saat berbicara/berkomunikasi. Orang yang berasal dari golongan triwangsa boleh menggunakan bahasa tersebut begitu pula dengan orang Jaba, mereka boleh menggunakan kalimat tersebut.
1.       Contoh basa kesamen  ke sesama orang Jaba dapat dipraktikkan pada sesama orang Jaba dan kelompoknya. Misalnya:
-          I Bapa ngomong, “ Cening mara teka?”
-          I Cening masaut, “ Icang mara teka Bapa!”
2.       Contoh basa Kesamen pada golongan triwangsa. Misalnya:
-          Ida Panda ngandika, “Cening mara teka?”
-          I Cening matur, “ Titiang wau rauh Ratu Pranda”

b.         Basa Kasar yaitu bahasa yang berupa basa Sor yang dilakukan pada saat bergaul atau pada pergaulan yang sudah akrab dan digunakan pula pada saat berkelahi. Misalnya basa Kasar antara lain:
-          Leklek               (makan)
-          Memelud           (tidur)
-          Cicing               (anjing)
-          Nani                 (kamu)
-          Bangka             (mati)
2.4. Mengapa terjadi penggunaan bahasa yang berkelas seperti itu?
Membicarakan tentang tingkatan-tingkatan berbicara (anggah-ungguhing basa atau sor singgih basa) tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan manusia mengenai adat kesopanan terutama etiket dalam berbicara.
Berbicara kepada orang Bali di samping komponen bahasa ada pula komponen lain yang turut mendukung perilaku kesopanan itu seperti berpakaian, gerak tangan, gerak tubuh, cara dan tempat duduk. Hal ini terutama terjadi dalam situasi formal, yang dalam bahasa Balinya disebut nangkil (menghadap).
Sehubungan dengan itu untuk mengetahui tingkat-tingkat berbicara yang akan dipiih haruslah diketahui bagaimana latar belakang faktor social budaya orang Bali yang merupakan faktor terpenting dalam menentukan pilihan tersebut. Dan yang dimaksud dengan factor social ini tidak lain adalah struktur masyarakat Bali dewasa ini baik secara tradisional maupun secara modern. Struktur tradisional disini maksudnya adalah struktur masyarakat Bali berdasarkan pada system wangsa atau kasta yang dijadikan pedoman untuk mengukur tinggi rendah kedudukan seseorang menurut kelahiran atau keturunannya.
Pada garis besarnya ada dua wangsa yaitu triwangsa yang terdiri dari Brahmana, Satria dan Weisia serta wangsa Jaba (seperti yang dijelaskan di atas). Menurut ukuran kelahiran, Tri Wangsa adalah kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wangsa Jaba. Sedangkan yang dimaksud dengan struktur masyarakat Bali modern adalah kelas-kelas sosial baru yang timbul sejak  zaman pemerintahan kolonial Belanda sampai saat ini seperti pengusaha, pegawai negeri, dan orang swasta lainnya yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Selanjutnya yang dimaksud dengan faktor budaya  adalah nilai, sikap, kepercayaan masyarakat Bali. Jika berbicara dengan orang yang diajak berbicara tersebut tidak sama statusnya maka dipilihlah bentuk halus atau bentuk hormat. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa factor sosiallah yang terutama mempengaruhi pembentukan pemilihan kata itu. Apabila orang yang berbicara dengan orang yang diajak berbicara itu sama status dan umurnya maka biasanya akan dipakai bentuk kasar.

2.5. Eksistensi penggunaan bertingkat pada era masa kini
Penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa dalam bahasa Bali mencapai puncak kemapanannya sampai pada norma-norma terhadap pelanggaran-pelanggarannya. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut dianggap “cemer” sehingga harus disucikan dengan upakara yang disebut “prayascita”. Tujuannya adalah agar orang yang bersangkutan dapat diterima kembali dalam pergaulan di masyarakat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah zaman kemerdekaan kembali terjadi pergeseran sebagai wujud nyata pendemokrasian dalam bahasa Bali.
Dalam pergaulan sehari-hari di rumah tangga masyarakat Bali umumnya mempergunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi. Hal ini berarti bahasa Bali mempunyai peranan penting dalam tatanan hidup dan pergaulan masyarakat di Bali untuk menyatakan maksudnya. Pemakaian bahasa Bali sebagai alat komunikasi antar keluarga di Bali tidak terlepas dari pada golongan tua saja tetapi terlihat pula pada golongan muda, golongan orang-orang terdidik atau yang tidak terdidik. Pemakaian bahasa Bali juga tidak terbatas pada satu golongan saja misalnya sebagai buruh, tukang, pegawai dan lain sebagainya, juga menunjukkan keintiman komunikasi antar keluarga.
Namun, karena pengaruh modernisasi yang telah masuk ke dalam ruang lingkup masyarakat Bali baik secara vertikal maupun horizontal, telah muncul kelas sosial baru yang asalnya tidak dari golongan Triwangsa. Golongan baru ini merobah pemekaian kaidah berbahasa secara tradisional itu sehingga pada suatu ketika menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat Bali. Oleh karena pengaruh modernisasi itu tidak dapat dibendung dan dihalang-halangi maka terjadilah perobahan tentang pemakaian tingkat-tingkatan berbicara terutama pada kalangan pergaulan.golongan modern.
Hal ini Nampak tidak dipakainya lagi kata serapan bentuk hormat ratu, atu lalu dialihkan dengan meminjam kata-kata dari bahasa Indonesia yang dianggap sebagai kata netral yang tidak membedakan tinggi rendah wangsa seseorang seperti kata Bapak atau Ibu. Selain itu sikap masyarakat Bali pun terhadap tingkatan-tingkatan berbicara itu sudah mulai menujukkan tanda-tanda kemerosotan karena bentuk bahasa tersebut dianggap tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat modern dewasa ini.
Timbulnya modernisasi di Bali menggoyahkan kedudukan pemakaian bahasa Bali dalam kehidupan keluarga di Bali sebagai bahasa pergaulan maupun bahasa komunikasi. Tambahan pula adanya usaha untuk memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang membuat masyarakat Bali yang terdidik lebih mudah mencetuskan cita rasanya dengan bahasa Indonesia dibandingkan meggunakan bahasa Bali.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sampai saat ini banyak memberikan pengaruh terhadap eksistensi penggunaan sor singgih Basa dalam bahasa Bali.

BAB III
PENUTUP

3.1.              Kesumpulan
Sebagai penutup dari makalah  ini, ada baiknya dibuatkan berupa kesimpulan. Namun kesimpulan ini hanya bersifat sementara karena makalah ini masih menunggu masukan –masukan dari para pembaca. Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi maka untuk sementara dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.    Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bali untuk berinteraksi dan berkomunikasi adalah bahasa Bali Kepara yang artinya bahasa Bali lumbrah/umum yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini terutama dalam kehidupan masyarakat Bali itu sendiri.
2.    Masyarakat Bali  sampai memiliki anggah-ungguhing Basa Bali tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh dari orang-orang Jawa terutama orang Majapahit, sehingga bahasa Bali dikelompokkan berdasarkan wangsa seseorang yang disebut anggah-ungguhin basa Bali.
3.    Menggunakan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dipisahkan dari subyek yang menggunakan bahasa tersebut. Dalam pemakaiannya, tidak sembarang bahasa yang digunakan. Ada saat-saat menggunakan kruna mider/alus mider (kata netral), kruna kasar, kruna alus madia, kruna alus sor, kruna alus mider dan kruna alus singgih. Misalnya berbicara dengan sulinggih, pejabat setempat dan orang-orang yang patut dihormati.
4.    Terjadinya penggunaan bahasa yang berkelas tidak bisa lepas dari latar belakang factor social dan struktur tradisional masyarakat di Bali.
5.       Timbulnya modernisasi di Bali menggoyahkan kedudukan pemakaian bahasa Bali dalam kehidupan keluarga di Bali sebagai bahasa pergaulan maupun bahasa komunikasi. Tambahan pula adanya usaha untuk memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang membuat masyarakat Bali yang terdidik lebih mudah mencetuskan cita rasanya dengan bahasa Indonesia dibandingkan meggunakan bahasa Bali.


3.2.              Saran
            Jika diperhatikan globalisasi yang terjadi pada saat ini, banyak masyarakat Bali yang merasa kesulitan menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar  dan sesuai dengan anggah-ungguhing basa Bali. Kesulitan-kesulitan tersebut semakin besar dirasakan terlebih lagi bagi mereka yang tinggal di daerah kota. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Bali dalam berkomunikasi dengan orang-orang disekitanya sehingga mereka kesulitan belajar bahasa Bali dibandingkan belajar bahsa Indonesia maupun bahasa asing lainnya. Maka dari itu pembelajaran bahasa Bali perlu dipelajari dan ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan sehari-hari terutama kepada anak-anak agar bahasa Bali yang merupakan bahasa Ibu tidak gampang digeser keberadaannya oleh bahasa-bahasa lainnya.
            Bahasa Bali adalah warisan yang mengandung unsure-unsure nilai kebudayaan yang sangat berharga. Oleh karena itu perlulah dipelihara sebaik-baiknya agar jangan sampai lenyap tak berguna.


DAFTAR PUSTAKA

Tinggen, I Nengah. 1986. “ Sor Singgih Basa Bali”. Singaraja: Percetakan Eka Cipta.

               . 2005.” Imba Mabebaosan Nganggen Basa Bali”. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Tinggen, I Nengah. 1984. “Tata Basa Bali” . Singaraja: Percetakan Eka Cipta.

Bawa, I Wayan DKK. 1984. “Studi Sejarah Bahasa Bali”. Denpasar. Universitas Udayana.

Gautama, Wayan Budha. 2005. “Tata Sukerta Basa Bali”. Denpasar. CV.KAYUMASAGUNG.

Jendra, Wayan DKK. 1975. “Sebuah Deskripsi tentang Latar Belakang Sosial Budaya Bahasa Bali”. Denpasar. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suasta, Ida Bagus Made. 2004. “Sejarah Kajian Bahasa Bali”. Denpasar. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana.

               . 2006.” Tata Basa Bali”. Denpasar. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.

               . 1996.” Tata Bahasa Baku Bahasa Bali”. Denpasar. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Putra Suarjana, I Nyoman. 2007.  “ Sor-Singgih Basa Bali dalam Dharma Papadikan, Pidarta, Sambrama Wacana dan Dharma Wacana”. Denpasar.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar