BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai
alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada kegiatan
manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Bahasa muncul dan diperlukan
dalam segala kegiatan. Namun, dibalik semua itu bahasa juga kerap menjadii
sangat sulit dan rumit. Permasalahan itupun akhirnya membawa insan bahasa
melakukan penelitian. Penelitian bahasa telah banyak dilakukan, baik secara
perorangan maupun secara kelompok. Peneltian yang dilakukan secara perorangan
umumnya berbentuk skripsi, atau disertasi.
Dilihat
dari latar belakangnya, masyarakat Bali secara garis besar dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu masyarakat Bali Kuna dan masyarakat Bali Majapahit.
Jika dirunut secara historis sebenarnya ada tiga kelompok masyarakat yang
berada di Bali. Yang pertama adalah penduduk asli pulau Bali. Kedua pendatang
yang datang dari Jawa yang merambas hutan di Bali kemudian membangun pura
Besakih dan yang terakhir kelompok pendatang dari Majapahit melalui penyerbuan
yang dipimpin oleh Kertanegara dan Gajah Mada.
Peranan
bahasa Bali adalah sebagai alat untuk menyampaikan ide-ide, apresiasi,
kreatifitas dan majinasi, mengetahui cara hidup masyarakat Bali. Dalam
peranannya tersebut bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dari SD hingga ke
perguruan tinggi bukan saja sebagai mata pelajarnya tetapi dipergunakan juga
sebagai alat meyampaikan ilmu-ilmu yang lain seperti sejarah, ilmu bumi dan
lain sebagainya. Disamping itu bahasa Bali dipergunakan sebagai alat komunikasi
secara umum di Bali dalam hubungan antar suku. Bahasa Bai dalam kedudukannya
sebagai bahasa setempat menguasai kehidupan sehari-hari di Bali baik dalam
lingkungan keluarga, teman-teman, maupun kehidupan social yang lain.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil
beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.
Bahasa
apa yang digunakan oleh orang Bali?
2.
Mengapa
model bahasa itu yang digunakan?
3.
Siapa saja yang menggunakan bahasa tersebut?
4.
Mengapa
terjadi penggunaan bahasa seperti itu?
5.
Bagaimana
eksistensi penggunaan bahasa yang bertingkat itu di era terkini?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk
mengetahui bahasa apa yang digunakan oleh orag Bali.
2.
untuk
mengetahui model bahasa yang digunakan
3.
untuk
mengetahui siapa saja yang menggunakan bahasa tersebut?
4.
Untuk
mengetahui mengapa terjadi penggunaan bahasa seperti itu?
5.
Untuk
mengetahui eksistensi penggunaan bahasa yang bertingkat itu di era terkini
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Bahasa
yang Digunakan oleh Orang Bali
Dalam
bahasa Bali dikenal istilah bahasa Bali Kepara yang artinya bahasa Bali lumbrah/umum. Bahasa Bali kepara
merupakan bahasa daerah Bali yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini
terutama dalam kehidupan masyarakat Bali itu sendiri yang digunakan sebagai
alat komunikasi sehari-hari. Selain sebagai alat komunikasi bahasa Bali Kepara
ini juga digunakan untuk mempelajari dan menulis karya sastra. Bahasa Bali
Kepara mengenal adanya tingkatan-tingkatan berbahasa yang disebut dengan
“anggah-ungguhin basa” atau “sor-singgih basa”. Sor Singgih basa Bali menurut
kamus Bali- Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar provinsi
Bali menguraikan bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti halus atau
hormat. Sor singgih Basa Bali berarti aturan tentang tingkat-tingkatan atau
tinggi rendahnya rasa dalam berbahasa Bali. Dalam anggah-ungguhing basa
tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kelas yang sering disebut basa kasar,
basa alus madia dan basa alus mider. Sedangkan untuk kata-kata yang digunakan
di dalamnya dinamakan kruna mider
(kata netral), kruna kasar, kruna alus madia, kruna alus sor, kruna
alus mider dan kruna alus singgih.
2.2. Mengapa model seperti itu yang
digunakan?
Masyarakat
Bali sampai memiliki anggah-ungguhing
Basa Bali tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh dari orang-orang Jawa. Dalam
konteks sejarah, pada awalnya di Bali tidak mengenal adanya sor-singgih basa. Dalam kehidupan
sehari-hari mereka berkomunikasi dengan orang lain tidak menggunakan
tingkatan-tingkatan berbahasa seperti itu.
Bahasa Bali
secara regional dapat dibedakan menjadi dua ragam besar yaitu dialek pegunungan
yang disebut dengan Dialek Bali Aga (DBA) dan dialek Bali Dataran (DBD) yang
masing-masing memiliki subdialek. Dialek Bali Aga adalah bahasa bali yang
digunakan oleh kelompok masyarakat yang mendiami daerah pegunungan dan
merupakan penduduk asli masyarakat Bali. Sedangkan orang yang menggunakan
Dialek Bali Dataran adalah orang Bali yang terkena pengaruh dari wong Majapahit.
Daerah yang masih terkait dengan Dialek Bali
Aga adalah daerah di bagian pegunungan pulau Bali. Penduduk pulau Bali yang
tinggal di daerah-daerah pegunugan biasanya disebut Wong Bali Aga. Maka dari
itu bahasanya pun yang sebenarnya tidak lain dari sebuah variasi dari bahasa
Bali, disebut bahasa Bali Dialek Bali Aga (DBA), dan daerah persebarannya jauh lebih sedikit dibandingkan penutur dialek
Bahasa Bali Dataran.
Orang Bali
yang menggunakan dialek bahasa Bali Aga tersebut adalah orang-orang Bali yang
terdesak ke daerah-daerah pegunungan pulau Bali oleh serangan lascar Majapahit
yan dipimpin oleh Gajah Mada. Mereka tidak mau menerima begitu saja kebudayaan
yang disebarkan oleh orang-orang Majapahit yang datang ke Bali pada saat itu,
sehingga mereka memilih untuk pergi ke pegunungan dan mempertahankan bahasa
asli mereka. Anggapan umum ini bila dicocokkan dengan tinjauan kemasyarakatan
terhadap penuturan asli masyarakat Bali Aga dan penyebarannya, ada tanda-tanda
kebenarannya sebab masyarakat penutur DBA pada umumnya sedikit kena pengaruh
hidup, memiliki pola penetapan yang lain dari pola penetap masyarakat Bali
Dataran pada umumnya.
Orang-orang
Majapahit yang datang ke Bali pada saat itu mempengaruhi orang-orang Bali di
bagian pesisir/dataran. Terjadi pergeseran kebudayaan yang cukup besar dari
Jawa ke Bali, sampai raja-raja yang pada abad-abad berikutnya memerintah di
kerajaan-kerajaan kecil di Bali. Raja-raja tersebut membanggakan dirinya karena
berasal dari keturunan bangsawan-bangsawan Jawa Majapahit yang turut dalam
ekspedisi tersebut dan kemudian menetap di Bali. Pengaruh-pengaruh tersebut
salah satunya adalah mengenalkan tingkatan-tingkatan dalam bahasa Bali. Adanya
tingkatan-tingkatan dalam berbahasa itu dikarenakan orang-orang Majapahit itu
adalah orang–orang yang berasal dari wilayah kerajaan. Kebanggaan inilah yang
menimbulkan sikap santun mereka dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Cara
berbahasa mereka kemudian digolongkan menjadi empat wangsa yaitu kaum brahmana,
ksatria, weisia dan sudra.
Ada
beberapa perbedaan bahasa Bali baru (BBB)/Dialek Bali Dataran dengan Dialek
Bali Aga (DBA) yang bersifat diluar Kebahasaan (non linguistic) meliputi hal
sebagai berikut:
1.
Dalam
BBB mengenal tingkat-tingkatan (anggah-ungguhing basa) yang digunakan sebagai
cerminan adanya lapisan (stratification) social dalam masyarakat Bali yang
mengenal adanya kasta sebagai kelas tertutup. Tingkat-tingkatan bahasa dalam
BBB yaitu BB kasar, madya, alus sedangkan dalam DBA tidak mengenal adanya
anggah-ungguhing basa tersebut. Masyarakat DBA juga tidak mengenal kasta
tentang adanya anggah-ungguhing basa yang sekarang didapatkan di daerah
pemakaian DBA kemudian besar karena pengaruh pergaulan akibat pesatnya hubungan
dengan penutur dari bahasa Bali Dataran.
2.
Jumlah
penutur DBA jauh lebih sedikit dibandingka jumlah penutur BBB/Bahasa Bali
Dataran. DBA memiliki jumlah penduduk sekitar dua sampai tiga ratus ribu jiwa,
sedangkan penutut dialek Bali Dataran mencapai dua juta lebih.
3.
Sikap
loyalitas penutur bahasa Bali Dataran jauh lebih positif (lebih tinggi kadar
kesetiaan dan kebangsaannya) terhadap perkembangan bahasa Bali dibandingkan
sikap dan loyalitas penutur dialek Bali Aga terhadap bahasanya.
Perkembangan
dialek bahasa Bali Dataran yang selanjutnya menjadi bahasa Bali standar,
diangkat dari daerah bahasa tertentu di Bali berdasarkan keputusan Pesamuhan
Agung Bahasa Bali pada tahun 1974.
.
2.3. Siapa yang menggunakan bahasa itu?
Menggunakan
bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dipisahkan dari
subyek yang menggunakan bahasa tersebut. Dalam pemakaiannya, tidak sembarang
bahasa yang digunakan. Ada saat-saat menggunakan kruna mider/alus mider (kata netral), kruna kasar, kruna alus madia,
kruna alus sor, kruna alus mider dan kruna
alus singgih. Kata-kata ini digunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang
yang mempunyai Triwangsa yang berbeda-beda.
Dalam
majalah Widya Pustaka yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Udayana
pada bulan Mei tahun 1984 yang memasukkan warna dan tingkatan-tingkatan
berbahasa. Pembagian tersebut antara lain:
1.
Bahasa
Bali dibagi menjadi dua golongan yaitu Basa Kasar dan Basa Alus (Basa Alus
dalam kamus bahasa Bali-Indonesia yang disusun oleh panitia penyusun Kamus
Bali-Indonesia dan tim Penelitian Sastra Unud Denpasar, dalam buku Unda-Usuk
Basa Bali, tahun 1978/1979).
2.
Bahasa
Bali dibagi menjadi tiga golongan yaitu Basa Kasar, Basa Madia dan Basa Alus (
Bagus, Gd. 1975: 37: 1975/1976: 109). Selain itu ada juga yang menyebutkan Basa
Kasar, Basa Kepara (lumbrah/umum), dan Basa Alus ( Simpen AB, Gst. Bgs.
Sugriwa). Selain itu menurut Dinas Pengajaran Daerah Provinsi Bali tahun 1971:
61 menyebutkan bahasa bali dibagi menjadi tiga golongan berbeda yaitu Basa Sor,
Basa Madia, dan Basa Singgih.
3.
Bahasa
Bali dibagi menjadi empat golongan yaitu Basa Kasar, Basa Andap, Basa Madia dan
Basa Alus ( Ida Bgs. Narayana, dalam majalah widia Pustaka, Maret 1984).
4.
Bahasa
Bali dibagi menjadi lima golongan yaitu Basa Kasar, Basa Alus, Basa Singgih,
Basa Sor dan Basa Madia (J. Kersten SVD, dalam bukunya Garis Besar Tata Bahasa
Bali)
Jika
diteliti kembali tentang pembagian golongan tingkatan-tingkatan bahasa Bali dii
atas istilahnya emang berbeda-beda. Tetapi penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari hasilnya sama saja.
Karena
seperti itu dikelompok-kelompokkan, istilah-istilah tersebut kemudian diuraikan
kembali dalam penjelasan di bawah ini:
1.
Basa
singgih:
Basa
singgih merupakan bahasa yang biasa digunakan untuk menghormati pada saat
berbicara kepada orang yang patut dihormati misalnya kepada Triwangsa
(brahmana, ksatria dan weisia), orang yang berpangkat atau orang yang memegang
jabatan, dan kepada tamu yang belum kita kenal dengan baik.
Bahasa
singgih digolongkan kembali menjadi beberapa bagian yaitu:
a.
Basa
Alus Singgih (a. si ), yaitu bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi
dengan wangsa yang lebih tinggi derajatnya atau pada orang –orang yang patut
dihormati/singgihang. Bentuk ini
berjumlah kira-kira sepertiga dari seluruh jumlah kosakata bentuk hormat yang
ada. Bentuk-bentuknya khusus untuk menyebut sesuatu tentang orang yang dihormati.
Contoh kata-kata yang biasanya digunakan
antara lain:
-
Seda
(mati, meninggal)
-
Mantuk (pulang)
-
Ngandika (berbicara)
-
Ida (dia, beliau)
b.
Basa
Alus Sor (a. so), yaitu bahasa yang digunakan untuk merendahkan diri pada saat
berbicara dengan wangsa yang lebih tinggi derajatnya atau orang yang patut
ditinggikan. Kata-kata yang biasanya digunakan untuk berbicara merupakan
kata-kata alus yang bersifat merendah seperti:
-
Padem (mati, meninggal)
-
Budal (pulang)
-
Matur (berbicara)
-
Ipun (ia, dia)
c.
Basa
Alus Madia (a. ma), yaitu bahasa Bali yang penggunaannya berada di
tengah-tengah. Boleh digunakan saat berbicara dengan wangsa tengahan, sesama
triwangsa dan wangsa yang lebih rendah yang patut dihormati. Kata-kata alus
Madia ini misalnya:
-
Tiang
berasal dari kata “titiang” (saya, aku)
-
Niki
berasal dari kata “puniki” (ini)
-
Ten
berasal dari kata “nenten”” (tidak)
-
Ampun
berasal dari kata “sampun” (sudah)
-
Napi
berasal dari kata “punapi” (apa)
Jumlah
bentuk alus madia jauh lebih kecil dibandingkan dengan bentuk alus mider.
Disamping bentuknya memang dari mulanya berbentuk alus madia, ada juga
yang bentuknya dari kependekan bentuk
alus mider. Hal itu terutama terjadi dari proses pemakaian yang disebabkan oleh
situasi, maka bentuk alus dipendekkan, sehingga konotasi kata tersebut berubah
d.
Basa
Alus Mider (a. mi), yaitu berupa bahasa Bali alus yang ngiras (merangkap) kegunaannya pada saat berbicara kepada wangsa
yang lebih tinggi atau wangsa yang lebih rendah yang patut dihormati. Contoh
kata-kata alus Mider misalnya:
-
Rauh (datang)
-
Kanin (terluka)
-
Mamargi (berjalan)
-
Puput (selesai)
Jika
dilihat dari aspek leksikalnya, bentuk hormat tersebut secara keseluruhannya
kira-kira berjumlah 600-700 kata. Namun dari jumlah tersebut tidak semuanya
merupakan kata-kata yang aktif melainkan ada sejumlah kata-kata yang pasif
artinya jarang digunakan, bahkan tidak pernah dipakai dalam kehidupan
sehari-hari. Kata-kata yang pasif tersebut biasanya terpakai dalam buku-buku
klasik yang biasanya menceritakan tentang kisah raja-raja. Dari jumlah
keseluruhan kosa kata tersebut, boleh dikatakan sebagian besarnya adalah
termasuk bentuk alus, atau jelasnya alus mider.
2.
Basa
Sor
Basa
Sor adalah bahasa andap yang
digunakan pada saat berkomunikasi dengan wangsa andapan, sesama wangsa Jaba
atau berbicara dengan teman-teman yang sudah akrab atau bahasa yang digunakan
pada saat berkelahi. Basa Sor dibagi lagii menjadi dua bagian yaitu:
a.
Basa
Kesamen yaitu bahasa yang boleh digunkanan oleh semua orang. Basa kesamen tidak
saja mencirikan merendahkan diri dan tidak juga terlalu meninggikan. Kesamen
berasal dari kata sami yang artinya semua. Kata sami mendapat awalan ka- dan
akhiran –an kemuadian disandikan menjadi kesamen. Contoh basa Kesamen: “Cening mare teka?”
Kalimat tersebut semua kalangan boleh
menggunakan saat berbicara/berkomunikasi. Orang yang berasal dari golongan
triwangsa boleh menggunakan bahasa tersebut begitu pula dengan orang Jaba,
mereka boleh menggunakan kalimat tersebut.
1.
Contoh
basa kesamen ke sesama orang Jaba dapat
dipraktikkan pada sesama orang Jaba dan kelompoknya. Misalnya:
-
I
Bapa ngomong, “ Cening mara teka?”
-
I
Cening masaut, “ Icang mara teka Bapa!”
2.
Contoh
basa Kesamen pada golongan triwangsa. Misalnya:
-
Ida
Panda ngandika, “Cening mara teka?”
-
I
Cening matur, “ Titiang wau rauh Ratu Pranda”
b.
Basa
Kasar yaitu bahasa yang berupa basa Sor yang dilakukan pada saat bergaul atau
pada pergaulan yang sudah akrab dan digunakan pula pada saat berkelahi.
Misalnya basa Kasar antara lain:
-
Leklek (makan)
-
Memelud (tidur)
-
Cicing (anjing)
-
Nani (kamu)
-
Bangka (mati)
2.4. Mengapa terjadi penggunaan bahasa yang
berkelas seperti itu?
Membicarakan
tentang tingkatan-tingkatan berbicara (anggah-ungguhing basa atau sor singgih
basa) tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan manusia mengenai adat kesopanan
terutama etiket dalam berbicara.
Berbicara
kepada orang Bali di samping komponen bahasa ada pula komponen lain yang turut
mendukung perilaku kesopanan itu seperti berpakaian, gerak tangan, gerak tubuh,
cara dan tempat duduk. Hal ini terutama terjadi dalam situasi formal, yang
dalam bahasa Balinya disebut nangkil (menghadap).
Sehubungan
dengan itu untuk mengetahui tingkat-tingkat berbicara yang akan dipiih haruslah
diketahui bagaimana latar belakang faktor social budaya orang Bali yang
merupakan faktor terpenting dalam menentukan pilihan tersebut. Dan yang
dimaksud dengan factor social ini tidak lain adalah struktur masyarakat Bali
dewasa ini baik secara tradisional maupun secara modern. Struktur tradisional
disini maksudnya adalah struktur masyarakat Bali berdasarkan pada system wangsa
atau kasta yang dijadikan pedoman untuk mengukur tinggi rendah kedudukan
seseorang menurut kelahiran atau keturunannya.
Pada garis
besarnya ada dua wangsa yaitu triwangsa yang terdiri dari Brahmana, Satria dan
Weisia serta wangsa Jaba (seperti yang dijelaskan di atas). Menurut ukuran
kelahiran, Tri Wangsa adalah kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan wangsa Jaba. Sedangkan yang dimaksud dengan struktur masyarakat Bali
modern adalah kelas-kelas sosial baru yang timbul sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda sampai
saat ini seperti pengusaha, pegawai negeri, dan orang swasta lainnya yang
mempunyai kedudukan yang tinggi. Selanjutnya yang dimaksud dengan faktor budaya adalah nilai, sikap, kepercayaan masyarakat
Bali. Jika berbicara dengan orang yang diajak berbicara tersebut tidak sama
statusnya maka dipilihlah bentuk halus atau bentuk hormat. Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa factor sosiallah yang terutama mempengaruhi pembentukan
pemilihan kata itu. Apabila orang yang berbicara dengan orang yang diajak
berbicara itu sama status dan umurnya maka biasanya akan dipakai bentuk kasar.
2.5. Eksistensi penggunaan bertingkat pada
era masa kini
Penggunaan
tingkatan-tingkatan bahasa dalam bahasa Bali mencapai puncak kemapanannya
sampai pada norma-norma terhadap pelanggaran-pelanggarannya. Pelanggaran
terhadap norma-norma tersebut dianggap “cemer” sehingga harus disucikan dengan
upakara yang disebut “prayascita”. Tujuannya adalah agar orang yang
bersangkutan dapat diterima kembali dalam pergaulan di masyarakat. Namun dalam
perkembangan selanjutnya, terutama setelah zaman kemerdekaan kembali terjadi
pergeseran sebagai wujud nyata pendemokrasian dalam bahasa Bali.
Dalam
pergaulan sehari-hari di rumah tangga masyarakat Bali umumnya mempergunakan
bahasa Bali sebagai alat komunikasi. Hal ini berarti bahasa Bali mempunyai
peranan penting dalam tatanan hidup dan pergaulan masyarakat di Bali untuk
menyatakan maksudnya. Pemakaian bahasa Bali sebagai alat komunikasi antar
keluarga di Bali tidak terlepas dari pada golongan tua saja tetapi terlihat
pula pada golongan muda, golongan orang-orang terdidik atau yang tidak
terdidik. Pemakaian bahasa Bali juga tidak terbatas pada satu golongan saja
misalnya sebagai buruh, tukang, pegawai dan lain sebagainya, juga menunjukkan
keintiman komunikasi antar keluarga.
Namun, karena
pengaruh modernisasi yang telah masuk ke dalam ruang lingkup masyarakat Bali
baik secara vertikal maupun horizontal, telah muncul kelas sosial baru yang
asalnya tidak dari golongan Triwangsa. Golongan baru ini merobah pemekaian kaidah
berbahasa secara tradisional itu sehingga pada suatu ketika menimbulkan
pertentangan di dalam masyarakat Bali. Oleh karena pengaruh modernisasi itu
tidak dapat dibendung dan dihalang-halangi maka terjadilah perobahan tentang
pemakaian tingkat-tingkatan berbicara terutama pada kalangan pergaulan.golongan
modern.
Hal ini
Nampak tidak dipakainya lagi kata serapan bentuk hormat ratu, atu lalu dialihkan dengan meminjam kata-kata dari bahasa
Indonesia yang dianggap sebagai kata netral yang tidak membedakan tinggi rendah
wangsa seseorang seperti kata Bapak atau Ibu. Selain itu sikap masyarakat Bali
pun terhadap tingkatan-tingkatan berbicara itu sudah mulai menujukkan
tanda-tanda kemerosotan karena bentuk bahasa tersebut dianggap tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat modern dewasa ini.
Timbulnya
modernisasi di Bali menggoyahkan kedudukan pemakaian bahasa Bali dalam
kehidupan keluarga di Bali sebagai bahasa pergaulan maupun bahasa komunikasi.
Tambahan pula adanya usaha untuk memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan yang membuat masyarakat Bali yang terdidik lebih mudah
mencetuskan cita rasanya dengan bahasa Indonesia dibandingkan meggunakan bahasa
Bali.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang sampai saat ini banyak memberikan pengaruh terhadap eksistensi
penggunaan sor singgih Basa dalam
bahasa Bali.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesumpulan
Sebagai
penutup dari makalah ini, ada baiknya
dibuatkan berupa kesimpulan. Namun kesimpulan ini hanya bersifat sementara
karena makalah ini masih menunggu masukan –masukan dari para pembaca. Bertitik
tolak dari permasalahan yang dihadapi maka untuk sementara dapat ditarik
beberapa kesimpulan yaitu:
1.
Bahasa
yang digunakan oleh masyarakat Bali untuk berinteraksi dan berkomunikasi adalah
bahasa Bali Kepara yang artinya bahasa Bali lumbrah/umum
yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini terutama dalam kehidupan
masyarakat Bali itu sendiri.
2.
Masyarakat
Bali sampai memiliki anggah-ungguhing
Basa Bali tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh dari orang-orang Jawa
terutama orang Majapahit, sehingga bahasa Bali dikelompokkan berdasarkan wangsa
seseorang yang disebut anggah-ungguhin basa Bali.
3.
Menggunakan
bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dipisahkan dari
subyek yang menggunakan bahasa tersebut. Dalam pemakaiannya, tidak sembarang
bahasa yang digunakan. Ada saat-saat menggunakan kruna mider/alus mider (kata netral), kruna kasar, kruna alus
madia, kruna alus sor, kruna alus mider dan kruna alus singgih. Misalnya berbicara
dengan sulinggih, pejabat setempat dan orang-orang yang patut dihormati.
4.
Terjadinya
penggunaan bahasa yang berkelas tidak bisa lepas dari latar belakang factor
social dan struktur tradisional masyarakat di Bali.
5.
Timbulnya
modernisasi di Bali menggoyahkan kedudukan pemakaian bahasa Bali dalam
kehidupan keluarga di Bali sebagai bahasa pergaulan maupun bahasa komunikasi.
Tambahan pula adanya usaha untuk memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan yang membuat masyarakat Bali yang terdidik lebih mudah
mencetuskan cita rasanya dengan bahasa Indonesia dibandingkan meggunakan bahasa
Bali.
3.2.
Saran
Jika diperhatikan globalisasi yang
terjadi pada saat ini, banyak masyarakat Bali yang merasa kesulitan menggunakan
bahasa Bali yang baik dan benar dan
sesuai dengan anggah-ungguhing basa Bali. Kesulitan-kesulitan tersebut semakin
besar dirasakan terlebih lagi bagi mereka yang tinggal di daerah kota. Mereka
lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Bali dalam
berkomunikasi dengan orang-orang disekitanya sehingga mereka kesulitan belajar
bahasa Bali dibandingkan belajar bahsa Indonesia maupun bahasa asing lainnya.
Maka dari itu pembelajaran bahasa Bali perlu dipelajari dan ditumbuh-kembangkan
dalam kehidupan sehari-hari terutama kepada anak-anak agar bahasa Bali yang
merupakan bahasa Ibu tidak gampang digeser keberadaannya oleh bahasa-bahasa
lainnya.
Bahasa Bali adalah warisan yang
mengandung unsure-unsure nilai kebudayaan yang sangat berharga. Oleh karena itu
perlulah dipelihara sebaik-baiknya agar jangan sampai lenyap tak berguna.
DAFTAR PUSTAKA
Tinggen, I
Nengah. 1986. “ Sor Singgih Basa Bali”. Singaraja:
Percetakan Eka Cipta.
. 2005.” Imba
Mabebaosan Nganggen Basa Bali”. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Tinggen, I
Nengah. 1984. “Tata Basa Bali” .
Singaraja: Percetakan Eka Cipta.
Bawa, I
Wayan DKK. 1984. “Studi Sejarah Bahasa
Bali”. Denpasar. Universitas Udayana.
Gautama,
Wayan Budha. 2005. “Tata Sukerta Basa Bali”. Denpasar. CV.KAYUMASAGUNG.
Jendra, Wayan DKK. 1975. “Sebuah Deskripsi tentang Latar Belakang Sosial Budaya Bahasa Bali”. Denpasar.
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suasta, Ida Bagus Made. 2004. “Sejarah Kajian Bahasa Bali”. Denpasar. Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
. 2006.” Tata
Basa Bali”. Denpasar. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Badan Pembina Bahasa,
Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
. 1996.” Tata
Bahasa Baku Bahasa Bali”. Denpasar. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I
Bali.
Putra Suarjana, I Nyoman. 2007. “ Sor-Singgih Basa Bali dalam Dharma
Papadikan, Pidarta, Sambrama Wacana dan Dharma Wacana”. Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar